MAKASSAR,BKM.FAJAR.CO.ID--Ketika mayoritas orang tua pusing mencari sekolah terbaik untuk anaknya, saya malah jauh lebih santai. Kesantaian itu membuat istri saya gusar, bukannya sibuk mencari sekolah buat anak sulungnya, suaminya malah tak bergerak sedikitpun mencari sekolah.
Yah, 2017 itu sedang seru-serunya saya mengkritisi kurikulum nasional dengan segudang kegagalannya. Bagaimana tidak gagal, hanya 5,7% siswa yang tamat SMA yang bisa berbahasa inggris, itupun blepotan.
Data Kemdikbud menunjukkan bahwa hanya 2,29% siswa yang belajar matematika sejak TK yang memiliki kemampuan matematika yang baik.
Perdebatan antara saya dan para eselon 1 dan 2 kemdikbud pun tak terelakkan.
Akhirnya saya berkesimpulan bahwa tak ada gunanya berdebat dengan mereka yang pernah kuliah di Amerika, Eropa hingga Australia.
Di IGI, saya tunjukkan ke mereka bahwa kami bisa membuat guru berubah total bukan hanya kemampuan mengajar dengan berbagai tekniknya tapi juga mindsetnya, guru berubah total dalam cara pandang bagaimana mengembangkan potensi diri dan IGI sukses melatih 2,5 juta guru hanya dalam lima tahun tanpa APBN, sesuatu yang tak sanggup dicatatkan organisasi apapun termasuk Kemedikbud sendiri. Memang pendidikan belum banyak berubah karena tangan kami tak sanggung menggapai "peraturan dan kebijakan pendidikan" tetapi setidaknya guru-guru terbaik saat ini adalah guru-guru yang tersentuh kegiatan IGI.
Diluar itu, saya berkesimpulan bahwa sekolah manapun yang menerapkan kurikulum secara penuh, pasti akan gagal, paling juga menjadikan siswa pintar tetap pintar, itulah mengapa orang-orang berorietasi pada sekolah unggulan atau sekolah favorite. Tak banyak orang yang berani menceburkan anaknya masuk ke sekolah kasta rendah kecuali terpaksa, apalagi mencoba membuka sekolah baru dan menceburkan anaknya kedalamnya.
Tapi saya sedikit berbeda, saya tergoda untuk mencoba cara baru dan justru anak saya yang jadi "kelinci percobaannya"
Tugas pertama saya tentu tidak mudah, meyakinkan istri saya untuk mau menjadikan anaknya "kelinci percobaan" bukanlah langkah mudah, apalagi suaminya bukanlah profesor dan pastinya bukan profesor pendidikan.
Tugas kedua adalah "orang tua mana yang mau ikut serta menceburkan anaknya mengikuti jejak saya?" Ini pun tidak mudah, karena semua orang tua pasti khawatir anaknya akan salah didik dan seterusnya, apalagi sekolah baru berpotensi bermasalah dengan ijazah.
Tugas ketiga, siapa tenaga pengajar yang mau saya ajak membuat anak-anak ini menjadi sukses dimasa depannya dengan cara saya?