Subsidi Silang Bantu Orang tak Mampu

  • Bagikan

DI dunia hukum, nama H Muh Faisal Silenang sudah tidak asing lagi. Sudah 30 tahun ia menggeluti profesi sebagai pengacara. Ada suka dan duka yang telah dilaluinya.

ICAL, begitu dia akrab disapa. Lahir di Makassar, 22 Oktober 1966. Saat ini bermukim di Kompleks Perumahan Minasa Upa. Ayah dua putri ini hadir menjadi tamu di siniar (podcast) untuk kanal Youtube Berita Kota Makassar.
Ia jebolan S1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Program Pascasarjana Unhas. Ada dua alasannya memilih Fakultas Hukum untuk kuliah.
”Pertama, kita dapat membantu orang. Kedua, dengan belajar hukum kita belajar ilmu secara keseluruhan. Karena ilmu hukum itu tidak berdiri sendiri. Di dalamnya kita juga belajar ekonomi, politik, sosial, budaya, dan yang lainnya,” terang Faisal Silenang.
Ia mengaku tertarik untuk kuliah hukum sejak duduk di bangku SMA. Dia pun mengikrarkan diri, begitu tamat SMA dirinya harus masuk Fakultas Hukum, apapun yang terjadi.
”Sewaktu SMA saya sering ikut om yang suka ke pengadilan. Saya biasa diajak dan dipanggil. Karena memang sudah suka, hanya satu pilihan saya ketika masuk perguruan tinggi, yaitu Fakultas Hukum. Tidak ada pilihan lain,” jelasnya.
Setelah menyelesaikan jenjang S1, alumni SMAN 2 Makassar ini mengambil jalur profesinya terlebih dahulu. Selanjutnya kuliah di S2 Fakultas Hukum Unhas.
Keinginannya untuk membantu orang lain ia buktikan ketika melakoni profesi sebagai seorang pengacara. Sistem subdisi silang diterapkannya ketika mendampingi mereka yang butuh bantuan hukum.
”Yang tergolong mapan diberi tarif sewajarnya untuk mensubsidi mereka yang tidak mampu. Intinya, yang besar membantu yang kecil,” ungkap Faisal.
Pilihannya melanjutkan kuliah S2 atas keinginan Faisal sendiri. Ia ingin terus berlajar. Karena salah satu hal yang harus dilakukan jika menjadi seorang lawyer adalah mesti belajar terus menerus agar dapat mengikuti perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.
”Kalau kita tidak belajar akan kewalahan. Ada perkara baru, ada studi baru, kalau kita tidak belajar tentu tidak mengetahuinya. Karena itu, sebagai seorang lawyer harus selalu belajar, baik lewat jalur formal maupun nonformal. Minimal harus banyak membaca,” terangnya.

Ical kemudian mencontohkan, misalnya ada kasus baru dan tidak pernah dipelajari ketika duduk di bangku kuliah S1, ia bisa mendapatkannya di jenjang S2. Termasuk memperoleh informasinya dengan membaca. Karenanya, dia menyebut bahwa seorang lawyer paling tidak punya perpustakaan pribadi.
”Dulu ketika saya kuliah di Fakultas Hukum Unhas tahun 1987 tidak pernah diajarkan tentang hukum kepailitan. Setelah ada sekarang, kalau kita tidak belejar dan tidak membaca, bagaimana itu kita bisa tahu. Itu yang memacu saya untuk selalu membaca,” tuturnya.
Faisal juga mengungkap, bahwa ketika baru menempuh studi di Fakultas Hukum, ada dua pilihannya kala itu. Pertama menjadi seorang lawyer, dan kedua dosen. Ia kemudian tercatat sebagai seorang dosen dengan status TID (Tunjangan Ikatan Dinas). Namun profesi itu tidak dilanjutkannya.

Karena sejak dulu ingin membantu orang lain, Ical akhirnya menjatuhkan pilihan profesinya sebagai pengacara. Dalam perjalanannya, ada satu hal yang membuatnya terharu, bahkan sempat menangis ketika sesi wawancara berlangaung.
”Saya memilih menjadi lawyer agar bisa membantu orang lain. Ada yang saya bantu secara gratis karena mereka tergolong tidak mampu. Bahkan saya pernah dibayar dengan satu botol sirup dan sebiji semangka. Kejadiannya di tahun 2000-an,” ungkap Ical sambil menahan tangis.
Menjadi seorang lawyer dilakoni Ical sejak tahun 1992. Ketika itu ia sudah sering mendampingi dosen. Secara formal mendapatkan kartu dari Pengadilan Tinggipada tahun 1995. (*/rus)

  • Bagikan