MAROS,BKM.FAJAR.CO.ID--Ibrahim Fauzi dan Farhan Tahir, dua mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (FT Unhas) yang didudukkan sebagai terdakwa dalam kasus kematian Virendy Marjefy Wehantouw (19), Rabu (26/06/2024) di Ruang Sidang Cakra Pengadilan Negeri (PN) Maros diperiksa secara maraton mulai pagi hingga usai malam hari.
Majelis hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua PN Maros, Khairul, SH, MH bersama jaksa penuntut umum Alatas, SH mencecar kedua terdakwa dengan sederetan pertanyaan seputar penyelenggaraan Diksar & Ormed XXVII UKM Mapala 09 FT Unhas hingga peran dan tanggung jawab dari semua pihak terkait dalam pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan ini.
Diantaranya, mulai dari pra-kegiatan, kemudian standar pemeriksaan kesehatan peserta, keikutsertaan tim medis dan ketersediaan peralatan kesehatan yang memadai, lalu survei rute jalur dalam pelaksanaan diksar ini, dan bagaimana bentuk kegiatan sebenarnya di lapangan, perihal manajemen resiko serta terkait penanganan Virendy sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Ibrahim dan Farhan menerangkan pula bahwa pra-kegiatan yang dilakukan pihaknya bertujuan untuk melatih kemampuan fisik para peserta. Sebab pada pelaksanaan kegiatan diksar nanti, tentunya medan yang dihadapi akan lebih berat dan menguras tenaga sehingga membutuhkan fisik yang kuat dan sehat jasmani.
Sementara menyangkut standar kesehatan yang harus ada pada kegiatan diksar ini, kedua terdakwa secara jujur mengakui jika pihaknya tidak membawa atau mengikutsertakan tim medis yang kompeten. Bahkan perlengkapan kesehatan yang dibawa, juga dinilainya tidak memenuhi standar. Kesemua itu karena hanya mengandalkan kebiasaan-kebiasaan di kegiatan-kegiatan sebelumnya yang berlangsung aman-aman saja.
"Ketika hendak membawa mobil untuk berpergian, apa yang selalu harus kita siapkan ? Tentunya ban serep, dongkrak dan kunci roda kan. Nah, bagaimana jika ban serep dan peralatan pendukungnya tidak ada, resikonya apa jika mobil tetap dijalankan dan berpergian ? Pecah ban kan ?," majelis hakim memberikan ilustrasi untuk memaknai pengakuan terdakwa itu.
Hakim Khairul lalu menambahkan lagi, coba kalian perhatikan jika iring-iringan kendaraan yang ditumpangi presiden dan rombongan melintas di depanmu, pasti ada mobil ambulans ikut di bagian belakang. Sebab kalau ada kejadian darurat, mobil ambulans dan tenaga medisnya langsung bergerak. "Ini yang disebut Manajemen Resiko," tegasnya.
"Farhan, saudara sebagai ketua panitia, dalam setiap rapat jika diminta pendapat, kau selalu diam. Apa fungsinya ketua panitia ?," tanyanya lagi kepada Farhan yang dijawab jika dirinya kerap diam karena sudah ada keputusan dari Ibrahim selaku Ketua UKM Mapala 09 FT Unhas. Farhan mengaku hanya menangani operasional kegiatan dan fokus di logistik. Itu hanya kebiasaan turun temurun, tidak ada aturan tertulis.
Farhan juga mengakui jika dalam pelaksanaan kegiatan diksar ini, yang banyak berperan di lapangan adalah korlap (koordinator lapangan) Andi Muzzamil dan korpes (koodinator peserta) Armin Nurfajar. Dirinya hanya berkomunikasi via HT (Handy Talki) saja. Namun setiap pengambilan kebijakan, keputusan terakhir berada di Ketua UKM Mapala 09 FT Unhas.
"Saudara Farhan sebagai ketua panitia, saat melihat dan mengetahui kondisi Virendy sudah sangat lemah, harusnya langsung mengambil sikap bahwa ini sudah kondisi darurat. Bukannya membiarkan korlap, korpes maupun senior tetap memberikan aktivitas berlebihan hingga menghukum (set) kepada Virendy. Nah, seharusnya kan korlap dan korpes juga harus bertanggungjawab dan duduk di kursi pesakitan ini ? Kok kau saja yang duduk disini ?," kejar hakim Khairul.
Sambung Khairul lagi, jika kau (Farhan, red) jadi Virendy, apa yang kau inginkan ? Spontan dijawab Farhan "segera dilakukan pemeriksaan kedaruratan". "Nah, kalau saudara membawa tim medis dalam kegiatan diksar tersebut, kan bisa segera dilakukan pemeriksaan kesehatan dan dapat terdeteksi apa sebenarnya yang dialami Virendy," tukas hakim yang dalam waktu dekat ini akan mutasi menjabat Ketua PN Kediri.
Kembali menanggapi pengakuan terdakwa soal standar pemeriksaan kesehatan yang dilakukan kepada peserta dan juga menyangkut rute jalur diksar yang sulit diakses dan adanya perubahan rute jalur dari rencana semula yang tertuang di proposal, majelis hakim menyatakan pula bahwa seharusnya pihak kampus merah harus benar-benar meneliti dan melakukan evaluasi lebih mendalam sebelum mengeluarkan izin atau rekomendasi. "Jangan sampai kegiatan itu liar, karena tidak diketahui bagaimana sebenarnya bentuk aktivitas di lapangan," tegasnya.
Virendy Sudah Tak Bisa Berdiri
Soal tim medis yang tidak dibawa dalam kegiatan diksar ini, lagi-lagi dipermasalahkan jaksa penuntut umum Alatas, SH saat mendapat giliran mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada kedua terdakwa. "Saudara di BAP katakan tidak mengikutkan tim medis karena telah bersurat ke pihak TBM (Tim Bantuan Medis) namun tidak ada tanggapan. Ataukah saudara bersurat ke TBM hanya formalitas saja ? Yang penting nanti jika ditanya dosen pembina, disampaikan saja sudah menyurat," sergahnya.
Alatas kemudian mempertanyakan pelaksanaan rapat pada Kamis (12 Januari 2023) malam, siapa-siapa saja yang hadir dan apa yang dibahas ? Menjawab pertanyaan tersebut, Ibrahim menerangkan jika rapat itu dihadiri panitia diksar, pengurus UKM Mapala 09 FT Unhas dan sejumlah senior (alumni FT Unhas). Dalam rapat itu dibahas termasuk soal kondisi Virendy yang sudah sangat lemah.
"Saya selalu berkomunikasi via HT dengan korlap untuk memonitor kondisi Virendy. Bahkan di malam keempat (Kamis malam, red), Virendy sempat katakan dirinya sudah tidak bisa berdiri. Dalam rapat saya ajukan pendapat untuk pulangkan Virendy, tapi ada juga yang katakan kita lihat kondisinya besok pagi. Bahkan ada senior, Ilham dan Rijal menyampaikan bahwa kondisi Virendy baik-baik saja," beber Ibrahim.
"Saudara katakan ada senior bernama Ilham dan Rijal yang bilang kondisi Virendy baik-baik saja. Nah apakah Ilham dan Rijal memiliki kompetensi di bidang kesehatan sehingga memberikan pendapat demikian ?," usut jaksa senior di Kejaksaan Negeri (Kejari) Maros ini yang spontan dijawab Ibrahim "tidak ada pak jaksa, mereka hanya berdasarkan pengalaman saja".